Menjadi perempuan itu berat. Saat ingin
berdiri satu lengkah lebih depan, mereka menatapmu sinis sambil menggerutu
tajam, membuatmu mundur tiga langkah ke belakang. Tatapanmu yang berbinar mulai
redup tertelan harapan. Hancur melebur bersama mimpi-mimpi yang kau rangkai
setiap malam. Katanya, dunia tercipta untuk semua kalangan, nyatanya, dunia hanya
digembala untuk gerombolan domba jantan..
Menjadi perempuan itu berat. Saat ingin
mengepakkan sayap lebih lebar, mereka tertawa terbahak-bahak. Menepuk pundak sambil
berdumal pelan, “sayang, sayapmu tak akan terbang menembus awan. Engkau hanya
hembusan asap yang memudar terbelai angin. Engkau tak akan pernah menjadi
badai. Baiknya tetap tenang menunggu sampai alam memberimu kabar. Bahwasanya,
sang kumbang sedang dalam perjalanan pulang”.
Menjadi perempuan itu berat. Saat ingin
berpergian bebas dengan semangat membara, jalanan terasa gelap gulita. Mata-mata
sang pendosa melirik senang, ada mangsa, batinnya. Mereka beraksi seolah
memberi kesan bahwa dunia begitu kejam hingga engkau harusnya tak menapak santai.
Lalu kaupun berlari kencang dengan hati berdegup tak karuan, berteriak meminta
pertolongan. Berharap tuhan menarikmu dalam pelukannya, menyelamatkanmu dari
binatang jalan.
Menjadi perempuan itu berat. Saat kau tak
pandai memindai benang, mereka mengutukmu geram. Katanya, kau harus pandai
dalam segala hal. Katanya, kau harus menguasai berbagai keahlian. Namun,
nyatanya, mereka lupa. Mereka menutup jalan untuk engkau mencari ilmu
pengetahuan. Mengikatmu erat dalam kenyataan, bahwa tak sepatutnya engkau
terbang. Kaupun terdiam dalam sangkar, menangis lirih mempertanyakan nasib yang
malang.
Benar, menjadi perempuan itu berat. Terlalu berat sampai punggung tak lagi dapat menumpu tegak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar